Minggu, 15 November 2015

makalah hukum acara peradilan agama "eksekusi"



MAKALAH
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA ISLAM
EKSEKUSI

Disusun oleh:

Pinas Riadin
12020101016

Fakultas Syariah AS-A Semester VI
Institut Agama Islam Negeri
KENDARI
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Salah satu tujuan pokok dari Peradilan Agama adalah dengan mewujudkan keadilan dengan melalui putusan Hakim. Putusan Hakim tersebut bersifat mengikat orang yang berperkara di hadapan Persidangan.
Peradilan agama merupakan salah satu wadah bagi umat Islam pencari keadilan dalam merealisasikan rasa keadilan, norma serta nilai keislaman sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Disinilah peran Qadhi atau hakim agama dalam menegakkan keadilan dan memberantas kezhaliman yang ada. Di Indonesia, dalam merealisasikan dan melakukan perintah tersebut ada tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, mulai dari jenis perkara yang disidangkan sesuai sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang nomor 3 Tahun 2006 tentang kewenangan absolut Peradilan Agama yang khusus menetapkan dan memutuskan perkara perdata masyarakat yang beragama Islam dan hal lainnya yang diatur dalam undang-undang. Dari jenis perkara tersebut diakhir sidang hakim akan memutus perkara sesuai dengan jenis perkaranya yang kelak hasilnya disebut dengan putusan atau penetapan.
Se­belum berlakunya UU No.7 Tahun 1989 terdapat keti­dak sejajaran antara pengadilan dalam lingkungan peradil­an agama dengan pengadilan lainnya, khususnya antara pengadilan agama dengan pengadilan negeri. Hal itu tercermin dengan adanya institusi pengukuhan putusan pe­ng­adilan agama oleh pengadilan negeri. Berdasarkan UU No­.7 Tahun 1989 kedudukan pengadilan dalam ling­ku­ngan peradilan agama sejajar dengan pengadilan dalam ling­kungan peradilan lainnya. ketentuan pengu­kuhan putusan pengadilan agama oleh pengadilan ne­geri, dinyatakan dicabut. Dengan demikian, pengadilan agama memiliki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri yang dilaksanakan oleh jurusita. Kejurusitaan merupakan institusi baru di dalam susunan organi­sasi pengadilan agama.

B.     Rumusan masalah
Dari uraian diatas maka pemakalah membatasi dalam beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud dengan eksekusi?
2.      Bagaimanakah asas-asas dan bentuk eksekusi dalam lingkup peradilan agama?
3.      Bagaimanakah prosedur pelaksanaan eksekusi dalam lingkup peradilan agama?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian eksekusi
Menurut etimologi, eksekusi berasal dari bahasa Belanda “executive” yang berarti pelaksanaan putusan pengadilan. Sedangkan menurut terminologi hukum acara, eksekusi adalah “tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara
Menurut Subekti yang dimaksud dengan pelaksanaan putusan atau eksekusi adalah pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi, hal itu ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi di dalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Yang dimaksud dengan kekuatan umum adalah polisi bahkan kalau perlu militer (angkatan bersenjata).
Menurut Djazuli Bachar adalah melaksanakan putusan pengadilan, yang tujuannya tidak lain hanyalah untuk mengefektifkan suatu putusan menjadi suatu prestasi yang dilakukan dengan cara paksa untuk merealisasikan putusan kepada yang berhak menerima dari pihak yang dibebani kewajiban yang merupakan eksekusi.

B.     Asas-asas  dan bentuk eksekusi dalam lingkup peradilan agama
Eksekusi menganut azas-azas yang harus dipedomani oleh Pengadilan Agama yang meliputi:
1.      Putusan harus sudah berkekuatan hukum tetap;
Tindakan eksekusi biasanya baru menjadi suatu masalah apabila pihak yang kalah ialah pihak Tergugat, dalam tahap eksekusi kedudukannya menjadi pihak tereksekusi. Sedang bila pihak Penggugat yang kalah dalam perkara pada lazimnya, bahkan menurut logika tidak ada putusan yang perlu dieksekusi. Hal ini sesuai dengan sifat sengketa dan status para pihak dalam suatu perkara. Pihak penggugat bertindak selaku pihak yang meminta kepada pengadilan agar pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan suatu barang, mengosongkan rumah atau sebidang tanah, melakukan sesuatu, menghentikan sesuatu atau membayar sejumlah uang. Salah satu hukuman seperti itulah yang selalu terdapat dalam putusan, apabila gugatan penggugat dikabulkan oleh pengadilan dan harus dipenuhi dan ditaati pihak tergugat sebagai pihak yang kalah. Oleh karena itu bila kita berbicara mengenai eksekusi putusan adalah tindakan yang perlu dilakukan untuk memenuhi tuntutan penggugat kepada tergugat.
Tidak terhadap semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum eksekutorial, artinya tidak terhadap semua putusan pengadilan dapat dieksekusi. Putusan yang belum dapat dieksekusi adalah putusan yang belum dapat dijalankan. Pada prinsipnya hanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang dapat dijalankan.
Pada dasarnya putusan yang dapat dieksekusi adalah Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan hubungan hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti yaitu, hubungan hukum itu mesti ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (Pihak tergugat) baik secara sukarela maupun secara paksa dengan bantuan kekuatan umum. Dari keterangan diatas dapat dikatakan bahwa, selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi. Eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan pihak tergugat (yang kalah), tidak mau mentaati dan memenuhi putusan secara sukarela.
Pengecualian terhadap jenis putusan ini dimana eksekusi tetap dapat dilaksanakan walaupun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap berdasarkan Undang-undang adalah:
a.       Pelaksanaan Putusan Serta Merta, Putusan Yang Dapat Dilaksanakan Lebih Dahulu (vitvoerbaar by vooraad)
Menurut Pasal 180, ayat (1) HIR, eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap putusan pengadilan sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Pasal ini memberi hak kepada Penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih dahulu, sekalipun terhadap putusan itu pihak tergugat mengajukan banding atau kasasi.
b.      Pelaksanaan Putusan Provisional
Pasal 180 ayat (1) HIR juga mengenal putusan provisi yaitu tuntutan lebih dahulu yang bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara. Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka putusan provisi tersebut dapat dilaksanakan (dieksekusi) sekalipun perkara pokoknya belum diputus (mendahului).
c.       Akta Perdamaian.
Pengecualian ini diatur dalam pasal 130 HIR akta perdamaian yang dibuat dipersidangan oleh hakim dapat dijalankan eksekusi tak ubahnya seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Maka sejak tanggal lahirnya akta perdamaian telah melekat pulalah kekuatan eksekutorial pada dirinya walaupun ia tidak merupakan putusan pengadilan yang memutus sengketa.
d.      Eksekusi terhadap Grosse Akta
Sesuai Pasal 224 HIR eksekusi yang dijalankan ialah memenuhi isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Pasal ini memperbolehkan eksekusi terhadap perjanjian, asal perjanjian itu berbentuk grosse akta. Jadi perjanjian dengan bentuk grosse akta telah dilekati oleh kekuatan eksekutorial.

2.      Putusan tidak dilaksanakan oleh Tergugat secara sukarela;
Putusan yang dimaksud adalah dikarenakan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh ketua Pengadilan Agama. Ada dua cara menjalankan isi putusan, yaitu:
a.       Secara Sukarela
Pihak yang kalah (tergugat) memenuhi sendiri dengan sempurna isi putusan pengadilan. Tergugat tanpa paksaan dari pihak manapun, menjalankan pemenuhan hubungan hukum yang dijatuhkan kepadanya. Oleh karena pihak tergugat dengan sukarela memenuhi isi putusan kepada penggugat, berarti isi putusan telah selesai dilaksanakan maka tidak diperlukan lagi tindakan paksa kepadanya (eksekusi).
Untuk menjamin pelaksanaan isi putusan secara sukarela maka hendaknya pengadilan membuat berita acara pemenuhan putusan secara sukarela dengan disaksikan dua orang saksi yang dilaksanakan ditempat putusan tersebut dipenuhi dan   ditandatangani oleh jurusita pengadilan, dua orang saksi dan para pihak sendiri (Penggugat dan Tergugat). Maksudnya agar kelak ada pembuktian yang dapat dijadikan pegangan oleh hakim. Keuntungan menjalankan amar putusan secara sukarela adalah terhindar dari pembebanan biaya eksekusi dan kerugian moral.
b.      Menjalankan Putusan dengan jalan Eksekusi
Terjadi bila pihak yang kalah tidak mau menjalankan amar putusan secara sukarela, sehingga diperlukan tindakan paksa yang disebut eksekusi agar pihak yang kalah dalam hal ini tergugat mau menjalankan isi putusan pengadilan.
Pengadilan dapat mengutus jurusita Pengadilan untuk melakukan eksekusi bahkan bila diperlukan dapat dimintakan bantuan kekuatan umum. Kerugian yang harus ditanggung oleh tergugat adalah harus membayar biaya eksekusi yang untuk saat ini relatif mahal, disamping itu dia juga harus menanggung beban moral yang tidak sedikit.

3.      Putusan bersifat kondemnatoir;

Maksud putusan yang bersifat kondemnator adalah putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur “Penghukuman”, sedang putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman tidak dapat dieksekusi (Non-eksekutabel).

4.       Eksekusi berdasarkan perintah dan di bawah pimpinan ketua Pengadilan Agama.
Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat(1) HIR yaitu jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh  satu Pengadilan Agama, maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan. Eksekusi secara nyata dilakukan oleh Panitera atau jurusita berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama yang dituangkan dalam bentuk surat penetapan. Tanpa surat penetapan syarat formal eksekusi belum mamadai. Perintah eksekusi menurut Pasal 197 ayat (1) HIR mesti dengan surat penetapan, tidak diperkenankan secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif. Bentuk ini sangat sesuai dengan tujuan penegakan dan kepastian hukum serta pertanggungjawabannya. Karena dengan adanya surat penetapan maka akan tampak jelas dan terinci batas-batas eksekusi yang akan dijalankan oleh jurusita dan panitera, disamping hakim akan mudah melakukan pengawasan terhadap eksekusi tersebut.

Sedangkan bentuk pelaksanaan eksekusi terdiri dari 3 macam, yaitu:
1.      Eksekusi putusan yang menghukum Tergugat untuk membayar sejumlah uang, eksekusi ini bersumber dari persengketaan perjanjian hutang piutang dan ganti rugi berdasarkan wanprestasi;
2.      Eksekusi yang menghukum seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan yang dinilai dengan uang (psl.259 R.Bg);
3.      Eksekusi riil atau pelaksanaan putusan secara nyata dalam bentuk penyerahan/pengosongan atau pembongkaran (psl. 1033 RV).
Eksekusi riil ini ada 2 macam, yaitu:
a.       Eksekusi riil sebagai pelaksanaan putusan secara nyata sesuai dengan amar putusan;
b.      Eksekusi riil yang menyertai penjualan lelang.
Dalam praktik Pengadilan Agama dikenal 2 macam eksekusi, yaitu:
1)      Eksekusi riil atau nyata sebagaimana diatur dalam pasal 1033 RV, pasal 218 ayat (2) R.Bg yang meliputi penyerahan, pengosongan, pembongkaran, pembagian, dan melakukan suatu perbuatan.
2)      Eksekusi pembayaran sejumlah uang melalui lelang atau executorial ver koop, sebagaimana termuat dalam pasal 215 R.Bg.
Eksekusi yang terakhir ini, dilakukan dengan menjual lelang barang-barang debitur atau juga dalam pembagian harta bila pembagian in natura karena suatu sebab  tidak dapat dilakukan, misalnya pembagian harta warisan  dan harta bersama,  berapa sebuah rumah, sebuah mobil dan lain-lain. Barang-barang tersebut dijual dulu kemudian hasil penjualan itu dibagi sesuai dengan amar putusan Pengadilan Agama. Jika secara musyawarah ada yang tidak setuju dengan cara tersebut, maka pembagiannya dilaksanakan secara lelang di muka umum dan hasil penjualan lelang dibagi sesuai dengan porsi yang ditentukan dalam putusan.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menurut etimologi, eksekusi berasal dari bahasa Belanda “executive” yang berarti pelaksanaan putusan pengadilan. Sedangkan menurut terminologi hukum acara, eksekusi adalah “tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara.
Asas-asas eksekusi
      Putusan telah berkekuatan hukum tetap
      Putusan tidak dijalankan secara sukarela
      Putusan mengandung amar comdemnatoir (menghukum)
      Eksekusi dipimpin oleh ketua pengadilan dan dilaksanakan oleh panitera
Macam-macam Eksekusi
a)      Eksekusi putusan yang menghukum Tergugat untuk membayar sejumlah uang, eksekusi ini bersumber dari persengketaan perjanjian hutang piutang dan ganti rugi.(psl 196 hir dan psl 208 rbg )
b)      Eksekusi yang menghukum seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan yang dinilai dengan uang (psl.259 R.Bg);
c)      Eksekusi riil atau pelaksanaan putusan secara nyata dalam bentuk penyerahan/pengosongan atau pembongkaran (psl. 1033 RV).
Eksekusi riil ini ada 2 macam, yaitu:
Ø  Eksekusi riil sebagai pelaksanaan putusan secara nyata sesuai dengan amar putusan;
Ø  Eksekusi riil yang menyertai penjualan lelang.

DAFTAR PUSTAKA
dikutip dari Ilman Hasjim, SHI, MH,dalam kegiatan praktek peradilan semu fakultas syariah iain kendari
Sarwono, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 316
Dr. Abdul manan SH,SIP, M.Hum dalam bukunya “Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama”
Hj. Sulaikin Lubis, SH., MH., et al., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, cet. 3, (Jakarta; Kencana, 2008) hlm.175.
M. Yahya Harahap, SH., Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet.3, (Jakarta:PT. Gramedia,1991), hlm. 6.

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Nur Arifin Visit Original Post Cinta Islam