MAKALAH
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA ISLAM
EKSEKUSI
Disusun oleh:
Pinas
Riadin
12020101016
Fakultas Syariah AS-A Semester VI
Institut Agama Islam Negeri
KENDARI
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Salah satu tujuan pokok dari Peradilan Agama adalah dengan mewujudkan
keadilan dengan melalui putusan Hakim. Putusan Hakim tersebut bersifat mengikat
orang yang berperkara di hadapan Persidangan.
Peradilan agama
merupakan salah satu wadah bagi umat Islam pencari keadilan dalam
merealisasikan rasa keadilan, norma serta nilai
keislaman sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Disinilah peran Qadhi atau hakim agama dalam menegakkan keadilan dan memberantas kezhaliman yang ada.
Di Indonesia, dalam merealisasikan dan melakukan perintah tersebut ada tahapan-tahapan yang harus
dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, mulai dari jenis perkara yang disidangkan sesuai sebagaimana diatur dalam Pasal 49
Undang-undang nomor 3 Tahun 2006 tentang kewenangan absolut Peradilan Agama yang khusus menetapkan dan memutuskan perkara perdata
masyarakat yang beragama Islam dan hal lainnya yang diatur dalam undang-undang. Dari jenis perkara tersebut diakhir
sidang hakim akan memutus perkara sesuai dengan jenis perkaranya yang kelak hasilnya
disebut dengan putusan atau penetapan.
Sebelum berlakunya UU No.7 Tahun 1989 terdapat ketidak sejajaran antara
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dengan pengadilan lainnya,
khususnya antara pengadilan agama dengan pengadilan negeri. Hal itu tercermin
dengan adanya institusi pengukuhan putusan pengadilan agama oleh
pengadilan negeri. Berdasarkan UU No.7 Tahun 1989 kedudukan pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama sejajar dengan pengadilan dalam lingkungan
peradilan lainnya. ketentuan pengukuhan putusan pengadilan agama oleh
pengadilan negeri, dinyatakan dicabut. Dengan demikian, pengadilan agama
memiliki kemandirian untuk melaksanakan putusannya sendiri yang dilaksanakan
oleh jurusita. Kejurusitaan merupakan institusi baru di dalam susunan organisasi
pengadilan agama.
B. Rumusan
masalah
Dari uraian diatas maka pemakalah membatasi dalam
beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah
yang dimaksud dengan eksekusi?
2. Bagaimanakah
asas-asas dan bentuk eksekusi dalam lingkup peradilan agama?
3. Bagaimanakah
prosedur pelaksanaan eksekusi dalam lingkup peradilan agama?
PEMBAHASAN
A. Pengertian
eksekusi
Menurut etimologi,
eksekusi berasal dari bahasa Belanda “executive” yang berarti pelaksanaan
putusan pengadilan. Sedangkan menurut terminologi hukum acara, eksekusi adalah
“tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara
Menurut Subekti yang dimaksud dengan
pelaksanaan putusan atau eksekusi adalah pelaksanaan suatu putusan yang sudah
tidak dapat diubah lagi, hal itu ditaati secara sukarela oleh pihak yang
bersengketa. Jadi di dalam makna perkataan eksekusi sudah mengandung arti pihak
yang kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu secara sukarela, sehingga
putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Yang
dimaksud dengan kekuatan umum adalah polisi bahkan kalau perlu militer
(angkatan bersenjata).
Menurut Djazuli Bachar adalah melaksanakan putusan pengadilan, yang
tujuannya tidak lain hanyalah untuk mengefektifkan suatu putusan menjadi suatu
prestasi yang dilakukan dengan cara paksa untuk merealisasikan putusan kepada
yang berhak menerima dari pihak yang dibebani kewajiban yang merupakan
eksekusi.
B.
Asas-asas dan
bentuk eksekusi dalam lingkup peradilan agama
Eksekusi menganut azas-azas yang harus dipedomani oleh Pengadilan Agama
yang meliputi:
1. Putusan harus sudah berkekuatan
hukum tetap;
Tindakan eksekusi biasanya baru menjadi suatu masalah
apabila pihak yang kalah ialah pihak Tergugat, dalam tahap eksekusi
kedudukannya menjadi pihak tereksekusi. Sedang bila pihak Penggugat yang kalah
dalam perkara pada lazimnya, bahkan menurut logika tidak ada putusan yang perlu
dieksekusi. Hal ini sesuai dengan sifat sengketa dan status para pihak dalam
suatu perkara. Pihak penggugat bertindak selaku pihak yang meminta kepada
pengadilan agar pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan suatu barang,
mengosongkan rumah atau sebidang tanah, melakukan sesuatu, menghentikan sesuatu
atau membayar sejumlah uang. Salah satu hukuman seperti itulah yang selalu
terdapat dalam putusan, apabila gugatan penggugat dikabulkan oleh pengadilan
dan harus dipenuhi dan ditaati pihak tergugat sebagai pihak yang kalah. Oleh
karena itu bila kita berbicara mengenai eksekusi putusan adalah tindakan yang
perlu dilakukan untuk memenuhi tuntutan penggugat kepada tergugat.
Tidak terhadap semua putusan pengadilan mempunyai
kekuatan hukum eksekutorial, artinya tidak terhadap semua putusan pengadilan
dapat dieksekusi. Putusan yang belum dapat dieksekusi adalah putusan yang belum
dapat dijalankan. Pada prinsipnya hanya putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap yang dapat dijalankan.
Pada dasarnya putusan yang dapat dieksekusi adalah
Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan
yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum
yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara. Hal ini disebabkan hubungan
hukum antara pihak yang berperkara sudah tetap dan pasti yaitu, hubungan hukum
itu mesti ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum (Pihak tergugat)
baik secara sukarela maupun secara paksa dengan bantuan kekuatan umum. Dari
keterangan diatas dapat dikatakan bahwa, selama putusan belum mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi.
Eksekusi baru berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa terhitung
sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan pihak tergugat
(yang kalah), tidak mau mentaati dan memenuhi putusan secara sukarela.
Pengecualian terhadap jenis putusan ini dimana
eksekusi tetap dapat dilaksanakan walaupun putusan tersebut belum mempunyai
kekuatan hukum yang tetap berdasarkan Undang-undang adalah:
a. Pelaksanaan Putusan Serta Merta,
Putusan Yang Dapat Dilaksanakan Lebih Dahulu (vitvoerbaar by vooraad)
Menurut Pasal 180, ayat (1) HIR, eksekusi dapat
dijalankan pengadilan terhadap putusan pengadilan sekalipun putusan yang
bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Pasal ini memberi hak
kepada Penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan
eksekusinya lebih dahulu, sekalipun terhadap putusan itu pihak tergugat
mengajukan banding atau kasasi.
b. Pelaksanaan Putusan Provisional
Pasal 180 ayat (1) HIR juga mengenal putusan provisi
yaitu tuntutan lebih dahulu yang bersifat sementara mendahului putusan pokok
perkara. Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka putusan
provisi tersebut dapat dilaksanakan (dieksekusi) sekalipun perkara pokoknya
belum diputus (mendahului).
c. Akta Perdamaian.
Pengecualian ini diatur dalam pasal 130 HIR akta
perdamaian yang dibuat dipersidangan oleh hakim dapat dijalankan eksekusi tak
ubahnya seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Maka
sejak tanggal lahirnya akta perdamaian telah melekat pulalah kekuatan
eksekutorial pada dirinya walaupun ia tidak merupakan putusan pengadilan yang
memutus sengketa.
d. Eksekusi terhadap Grosse Akta
Sesuai Pasal 224 HIR eksekusi yang dijalankan ialah
memenuhi isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Pasal ini memperbolehkan
eksekusi terhadap perjanjian, asal perjanjian itu berbentuk grosse akta. Jadi
perjanjian dengan bentuk grosse akta telah dilekati oleh kekuatan eksekutorial.
2. Putusan tidak dilaksanakan oleh
Tergugat secara sukarela;
Putusan yang
dimaksud adalah dikarenakan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara
sukarela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh ketua
Pengadilan Agama. Ada dua cara menjalankan isi putusan, yaitu:
a. Secara Sukarela
Pihak yang kalah (tergugat) memenuhi sendiri dengan
sempurna isi putusan pengadilan. Tergugat tanpa paksaan dari pihak manapun,
menjalankan pemenuhan hubungan hukum yang dijatuhkan kepadanya. Oleh karena
pihak tergugat dengan sukarela memenuhi isi putusan kepada penggugat, berarti
isi putusan telah selesai dilaksanakan maka tidak diperlukan lagi tindakan
paksa kepadanya (eksekusi).
Untuk menjamin pelaksanaan isi putusan secara sukarela
maka hendaknya pengadilan membuat berita acara pemenuhan putusan secara sukarela
dengan disaksikan dua orang saksi yang dilaksanakan ditempat putusan tersebut
dipenuhi dan ditandatangani oleh jurusita pengadilan, dua orang
saksi dan para pihak sendiri (Penggugat dan Tergugat). Maksudnya agar kelak ada
pembuktian yang dapat dijadikan pegangan oleh hakim. Keuntungan menjalankan
amar putusan secara sukarela adalah terhindar dari pembebanan biaya eksekusi
dan kerugian moral.
b. Menjalankan Putusan dengan jalan
Eksekusi
Terjadi bila pihak yang kalah tidak mau menjalankan
amar putusan secara sukarela, sehingga diperlukan tindakan paksa yang disebut
eksekusi agar pihak yang kalah dalam hal ini tergugat mau menjalankan isi
putusan pengadilan.
Pengadilan dapat mengutus jurusita Pengadilan untuk
melakukan eksekusi bahkan bila diperlukan dapat dimintakan bantuan kekuatan
umum. Kerugian yang harus ditanggung oleh tergugat adalah harus membayar biaya
eksekusi yang untuk saat ini relatif mahal, disamping itu dia juga harus
menanggung beban moral yang tidak sedikit.
3. Putusan bersifat kondemnatoir;
Maksud putusan yang bersifat
kondemnator adalah putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur
“Penghukuman”, sedang putusan yang amar atau diktumnya tidak mengandung unsur
penghukuman tidak dapat dieksekusi (Non-eksekutabel).
4. Eksekusi berdasarkan perintah
dan di bawah pimpinan ketua Pengadilan Agama.
Asas ini diatur dalam pasal 195
ayat(1) HIR yaitu jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan
diputus oleh satu Pengadilan Agama, maka eksekusi atas putusan tersebut
berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan.
Eksekusi secara nyata dilakukan oleh Panitera atau jurusita berdasarkan
perintah Ketua Pengadilan Agama yang dituangkan dalam bentuk surat penetapan.
Tanpa surat penetapan syarat formal eksekusi belum mamadai. Perintah eksekusi
menurut Pasal 197 ayat (1) HIR mesti dengan surat penetapan, tidak
diperkenankan secara lisan dan ini merupakan syarat imperatif. Bentuk ini
sangat sesuai dengan tujuan penegakan dan kepastian hukum serta
pertanggungjawabannya. Karena dengan adanya surat penetapan maka akan tampak
jelas dan terinci batas-batas eksekusi yang akan dijalankan oleh jurusita dan
panitera, disamping hakim akan mudah melakukan pengawasan terhadap eksekusi
tersebut.
Sedangkan
bentuk pelaksanaan eksekusi terdiri dari 3 macam, yaitu:
1. Eksekusi putusan yang menghukum
Tergugat untuk membayar sejumlah uang, eksekusi ini bersumber dari
persengketaan perjanjian hutang piutang dan ganti rugi berdasarkan wanprestasi;
2. Eksekusi yang menghukum seseorang
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan yang dinilai dengan uang
(psl.259 R.Bg);
3. Eksekusi riil atau pelaksanaan
putusan secara nyata dalam bentuk penyerahan/pengosongan atau pembongkaran
(psl. 1033 RV).
Eksekusi riil ini ada 2 macam,
yaitu:
a. Eksekusi riil sebagai pelaksanaan
putusan secara nyata sesuai dengan amar putusan;
b. Eksekusi riil yang menyertai
penjualan lelang.
Dalam praktik Pengadilan Agama dikenal 2 macam eksekusi, yaitu:
1) Eksekusi
riil atau nyata sebagaimana diatur dalam pasal 1033 RV, pasal 218 ayat (2) R.Bg
yang meliputi penyerahan, pengosongan, pembongkaran, pembagian, dan melakukan
suatu perbuatan.
2) Eksekusi
pembayaran sejumlah uang melalui lelang atau executorial ver koop, sebagaimana
termuat dalam pasal 215 R.Bg.
Eksekusi yang terakhir ini,
dilakukan dengan menjual lelang barang-barang debitur atau juga dalam pembagian
harta bila pembagian in natura karena suatu sebab tidak dapat dilakukan,
misalnya pembagian harta warisan dan harta bersama, berapa sebuah
rumah, sebuah mobil dan lain-lain. Barang-barang tersebut dijual dulu kemudian
hasil penjualan itu dibagi sesuai dengan amar putusan Pengadilan Agama. Jika
secara musyawarah ada yang tidak setuju dengan cara tersebut, maka pembagiannya
dilaksanakan secara lelang di muka umum dan hasil penjualan lelang dibagi
sesuai dengan porsi yang ditentukan dalam putusan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut etimologi,
eksekusi berasal dari bahasa Belanda “executive” yang berarti pelaksanaan
putusan pengadilan. Sedangkan menurut terminologi hukum acara, eksekusi adalah
“tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara.
Asas-asas eksekusi
•
Putusan telah berkekuatan hukum tetap
•
Putusan tidak dijalankan secara sukarela
•
Putusan mengandung amar comdemnatoir
(menghukum)
•
Eksekusi dipimpin oleh ketua pengadilan
dan dilaksanakan oleh panitera
Macam-macam
Eksekusi
a) Eksekusi
putusan yang menghukum Tergugat untuk membayar sejumlah uang, eksekusi ini
bersumber dari persengketaan perjanjian hutang piutang dan ganti rugi.(psl 196
hir dan psl 208 rbg )
b) Eksekusi
yang menghukum seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan
yang dinilai dengan uang (psl.259 R.Bg);
c) Eksekusi
riil atau pelaksanaan putusan secara nyata dalam bentuk penyerahan/pengosongan
atau pembongkaran (psl. 1033 RV).
Eksekusi riil ini ada 2 macam, yaitu:
Eksekusi riil ini ada 2 macam, yaitu:
Ø Eksekusi
riil sebagai pelaksanaan putusan secara nyata sesuai dengan amar putusan;
Ø Eksekusi
riil yang menyertai penjualan lelang.
DAFTAR PUSTAKA
dikutip dari Ilman Hasjim, SHI, MH,dalam kegiatan
praktek peradilan semu fakultas syariah iain kendari
Sarwono, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), hal. 316
Dr. Abdul
manan SH,SIP, M.Hum dalam bukunya “Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama”
Hj. Sulaikin
Lubis, SH., MH., et al., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia,
cet. 3, (Jakarta; Kencana, 2008) hlm.175.
M. Yahya
Harahap, SH., Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet.3,
(Jakarta:PT. Gramedia,1991), hlm. 6.
0 komentar:
Posting Komentar